Tidak hanya di luar negeri terjadi kasus orang hilang atau pun peristiwa yang tetap menjadi misteri baik itu motif, atau pun siapa pelaku atas berbagai kasus-kasus yang menjadi misteri dan tak terpecahkan (sengaja ditutupi) hingga kini. Berikut dibawah ini adalah beberapa kasus besar di Indonesia yang hingga kini tetap masih menjadi misteri dan belum tuntas penyelesaiannya baik secara hukum maupun keberadaan fisik ataupun siapa pelaku sebenarnya.
1. Kasus Sum Kuning (1970)
Ini adalah kasus getir dan pahit dari seorang gadis muda bernama Sumarijem seorang gadis muda dari kelas bawah seorang penjual telur dari Godean Yogyakarta yang (maaf) diperkosa oleh segerombolan anak pejabat dan orang terpandang di kota Yogyakarta kala itu.Kasus ini merebak menjadi berita besar ketika pihak penegak hukum terkesan mengalami kesulitan untuk membongkar kasusnya hingga tuntas. Pertama-tama Sum Kuning disuap agar tidak melaporkan kasus ini kepada polisi. Belakangan oleh polisi tuduhan Sum Kuning dinyatakan sebagai dusta. Seorang pedagang bakso keliling dijadikan kambing hitam dan dipaksa mengaku sebagai pelakunya. Tanggal 18 September 1970 Sumarijem yang saat itu berusia 18 tahun tengah menanti bus di pinggir jalan dan tiba-tiba diseret masuk kedalam sebuah mobil oleh beberapa pria, didalam mobil Sumarijem (Sum Kuning) diberi bius (Eter) hingga tak sadarkan diri, Ia dibawa ke sebuah rumah di daerah Klaten dan diperkosa bergilir hingga tak sadarkan diri. Kasus ini cukup pelik karena menurut Jendral Pur Hoegeng mantan Kapolri bahwa para pelaku pemerkosaan adalah anak-anak pejabat dan salah seorang diantaranya adalah anak seorang pahlawan revolusi (Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa, penerbit Bentang). Dalam bukunya juga disebutkan bahwa Sum Kuning ditinggalkan ditepi jalan, Gadis malang ini pun melapor ke polisi. Bukannya dibantu, Sum malah dijadikan tersangka dengan tuduhan membuat laporan palsu. Dalam pengakuannya kepada wartawan, Sum mengaku disuruh mengakui cerita yang berbeda dari versi sebelumnya. Dia diancam akan disetrum jika tidak mau menurut. Sum pun disuruh membuka pakaiannya, dengan alasan polisi mencari tanda palu arit di tubuh wanita malang itu.Karena melibatkan anak-anak pejabat yang berpengaruh, Sum malah dituding anggota Gerwani. Saat itu memang masa-masanya pemerintah Soeharto gencar menangkapi anggota PKI dan underbouw-nya, termasuk Gerwani.Kasus Sum disidangkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sidang perdana yang ganjil ini tertutup untuk wartawan. Belakangan polisi menghadirkan penjual bakso bernama Trimo. Trimo disebut sebagai pemerkosa Sum. Dalam persidangan Trimo menolak mentah-mentah. Jaksa menuntut Sum penjara tiga bulan dan satu tahun percobaan. Tapi majelis hakim menolak tuntutan itu. Dalam putusan, Hakim Ketua Lamijah Moeljarto menyatakan Sum tak terbukti memberikan keterangan palsu. Karena itu Sum harus dibebaskan.Dalam putusan hakim dibeberkan pula nestapa Sum selama ditahan polisi. Dianiaya, tak diberi obat saat sakit dan dipaksa mengakui berhubungan badan dengan Trimo, sang penjual bakso. Hakim juga membeberkan Trimo dianiaya saat diperiksa polisi. Hoegeng terus memantau perkembangan kasus ini. Sehari setelah vonis bebas Sum, Hoegeng memanggil Komandan Polisi Yogyakarta AKBP Indrajoto dan Kapolda Jawa Tengah Kombes Suswono. Hoegeng lalu memerintahkan Komandan Jenderal Komando Reserse Katik Suroso mencari siapa saja yang memiliki fakta soal pemerkosaan Sum Kuning."Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak," tegas Hoegeng.Hoegeng membentuk tim khusus untuk menangani kasus ini. Namanya 'Tim Pemeriksa Sum Kuning', dibentuk Januari 1971. Kasus Sum Kuning terus membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat polisi dan Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media massa.Belakangan Presiden Soeharto sampai turun tangan menghentikan kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di istana, Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani oleh Team pemeriksa Pusat Kopkamtib. Hal ini dinilai luar biasa. Kopkamtib adalah lembaga negara yang menangani masalah politik luar biasa. Masalah keamanan yang dianggap membahayakan negara. Kenapa kasus perkosaan ini sampai ditangani Kopkamtib?? Dalam kasus persidangan perkosaan Sum, polisi kemudian mengumumkan pemerkosa Sum berjumlah 10 orang. Semuanya anak orang biasa, bukan anak penggede alias pejabat negara. Para terdakwa pemerkosa Sum membantah keras melakukan pemerkosaan ini. Mereka bersumpah rela mati jika benar memerkosa. Kapolri Hoegeng sadar. Ada kekuatan besar untuk membuat kasus ini menjadi bias. Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini. Sum sendiri kemudian bekerja di Rumah Sakit Tentara di Semarang. Dia kemudian menikah dengan seorang pria yang sudah dikenalnya saat masih dirawat. Tapi siapakah pelaku pemerkosaan sebenarnya dari Sum Kuning masih menjadi tanda tanya besar sampai saat ini sebab baik Sum Kuning tetap pada pendiriannya bahwa pemerkosanya adalah sekumpulan anak pejabat maupun 10 pemuda anak orang biasa yang diajukan ke pengadilan dan membantah habis-habisan tuduhan yang diajukan kepada mereka dan dijadikan sebagai kambing hitam untuk menutupi para pelaku sebenarnya.
2. Menghilangnya 13 Aktifis menjelang Reformasi Menjelang Reformasi
Di tahun 1998 ada sekitar 13 orang aktivis yang diculik paksa oleh militer dan hingga kini keberadaan mereka masih menjadi misteri, jika mereka sudah meninggal dimanakah mereka dikuburkan dan alasan apa yang menyebabkan sehingga militer menculik ke-13 orang aktivis ini. Mereka adalah Yanni Afri, Sonny, Herman Hendrawan, Dedy Umar, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Ucok Munandar Siahaan, Petrus Bima Anugerah, Widji Tukul, Hendra Hambali, Yadin Muhidin dan Abdun Nasser. Pasukan Kopassus dari tim mawar dianggap bertanggung jawab atas peristiwa menghilangnya ke-13 aktivis tersebut dimana ada 24 orang yang diculik namun 9 orang berhasil bebas yakni Aan Rusdiyanto, Andi Arief, Desmon J Mahesa, Faisol Reza, Haryanto Taslam, Mugiyanto, Nezar Patria, Pius Lustrilanang dan Raharja Waluya Jati. Sementara 1 orang lagi yakni Leonardus Nugroho (Gilang) yang sempat dinyatakan hilang lalu 3 hari kemudian ditemukan telah meninggal dunia di Magetan dengan luka tembak dikepalanya. Karena kasus ini sempat membuat heboh di tahun 1998 dan atas desakan berbagai pihak didalam maupun luar negri pada tanggal 3 Agustus 1998 Panglima ABRI saat itu, Jend Wiranto membentuk Dewan Kehormatan Perwira yang diketuai oleh Jend TNI Soebagyo HS yang saat itu menjabat sebagai KSAD, dan wakil ketua terdiri dari Let Jen TNI Fahrur Razi (Kasum ABRI), Let Jen Yusuf Kartanegara (Irjen Dephankam) dan anggota yang terdiri dari : Let Jen Soesilo Bambang Yudhoyono yang kini menjadi Presiden RI (Kassospol ABRI), Let Jen Agum Gumelar (Gubernur Lemhanas), Let Jen Djamiri Chaniago (Pangkostrad) dan Laksdya Achmad Sutjipto (Danjen AKABRI). Pada tanggal 24 Agustus 1998 Letnan Jendral Prabowo Subianto selaku Panglima Komando Cadangan Strategis (Pangkostrad) diberhentikan dari dinas kemiliteran. Menindaklanjuti keputusan dari Menteri Pertahana/Panglima ABRI Jendral Wiranto, dilakukan penyelidikan oleh PUSPOM ABRI dan selanjutnya diketahui bahwa tim mawar dari Kopassus diduga bertanggung jawab terhadap kasus penculikan dan penghilangan secara paksa para aktivis 1998 tersebut. 11 anggota Kopassus diadili secara militer namun KONTRAS dalam siaran pers nya menyebutkan :"Proses peradilan terhadap 11 anggota Kopassus terdakwa penculikan itu tidak lebih hanya sebuah rekayasa hukum untuk memutus pertanggung jawaban Letnan Jendral Prabowo Subianto yang sebenarnya paling bertanggung jawab atas operasi ini. Hal tersebut jelas bertolak belakang dengan hasil pemeriksaan DKP yang membuktikan bahwa Letjen Prabowo lah yang bertanggung jawab atas penculikan itu, karena itulah akhirnya ia dipensiunkan. Jadi secara keseluruhan kami berkesimpulan bahwa persidangan itu tidak lebih dari sebuah pertunjukan dagelan yang tidak lucu. Oleh sebab itu KontraS bersama keluarga korban tetap menuntut Letjen Prabowo Subianto, Mayjen Muchdi PR serta Kolonel Chairawan segera diseret ke pengadilan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kasus penculikan ini” Pembacaan putusan pengadilan Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) II Jakarta dengan nomor perkara PUT. 25 – 16 / K- AD / MMT – II/ IV/ 1999. Isi dari keputusan pengadilan menyatakan ; No Nama Terdakwa Vonis / Hukuman 1 Mayor (Inf) Bambang Kristiono 22 bulan / dipecat, 2 Kapten (Inf) F.S Multhazar 20 bulan / dipecat, 3 Kapten (Inf) Nugroho Sulistyo 20 bulan / dipecat, 4 Kapten (Inf) Yulius Stevanus 20 bulan / dipecat, 5 Kapten (Inf) Untung Budi Harto 20 bulan / dipecat, 6 Kapten (Inf) Dadang Hendra Yuda 16 bulan / dipecat, 7 Kapten (Inf) Djaka Budi Utama 16 bulan / dipecat, 8 Kapten (Inf) Fauka Noor Farid 16 bulan / dipecat, 9 Sersan Kepala Sunaryo 12 bulan / dipecat, 10 Sersan Kepala Sigit Sugianto 12 bulan / dipecat, 11 Sersan Satu Sukadi 12 bulan / dipecat Namun proses pengadilan tersebut tetap saja tidak memberikan kepastian dimanakah mereka menahan para aktivis tersebut dan jika sudah meninggal dimanakah mereka menguburkan atau membuang mayat ke-13 aktivis yang hilang tersebut.
3. Penembak Misterius (Petrus) 1982-1985.
Petrus atau juga dikenal sebagai operasi clurit dianggap oleh banyak orang sebagai sebuah operasi rahasia dimasa pemerintahan Orde Baru untuk menghabisi para Gali (Gabungan anak liar) dan Preman yang dianggap meresahkan dan mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat kala itu. Hingga kini para pelaku Petrus tidak pernah tertangkap dan tidak jelas siapa pelakunya. Kemungkinan besar adanya operasi ini karena instruksi dari Presiden Soeharto di tahun 1982 saat memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Anton Soedjarwo atas keberhasilannya membongkar kasus perampokan yang meresahkan masyarakat, lalu ditahun yang sama Soeharto kembali meminta Polisi dan ABRI dihadapan RAPIM ABRI untuk mengambil langkah pemberantasan yang efektif dalam menekan angka kriminalitas.Karena permintaan atau perintah Soeharto disampaikan pada acara kenegaraan yang istimewa, sambutan yang dilaksanakan oleh petinggi aparat keamanan pun sangat serius. Permintaan Soeharto itu sontak disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo melalui rapat koordinasi bersama Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta yang berlangsung di Markas Kodam Metro Jaya 19 Januari 1983. Dalam rapat yang membahas tentang keamanan di ibukota itu kemudian diputuskan untuk melaksanakan operasi untuk menumpas kejahatan bersandi Operasi Celurit di Jakarta dan sekitarnya. Operasi Celurit itu selanjutnya diikuti oleh Polri/ABRI di masing-masing kota serta provinsi lainnya. Para korban Operasi Celurit pun mulai berjatuhan. Petrus pada awalnya beraksi secara rahasia namun lambat laun aksi mereka seperti sebuah teror menakutkan bagi para bromocorah dan preman di kota-kota besar, pada tahun 1983 berhasil menumbangkan 532 orang yang dituduh sebagai pelaku kriminal. Dari semua korban yang terbunuh, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 korban Petrus (Penembak Misterius) yang tewas sebanyak 107 orang, tapi hanya 15 orang yang tewas oleh tembakan. Sementara tahun 1985, tercatat 74 korban Petrus (Penembak Misterius) tewas dan 28 di antaranya tewas karena tembakan. Secara umum para korban Petrus saat ditemukan dalam kondisi tangan dan leher terikat. Kebanyakan korban dimasukkan ke dalam karung dan ditinggal di tepi jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, hutan-hutan, dan kebun. Yang pasti pelaku Petrus terkesan tidak mau bersusah-susah membuang korbannya karena bila mudah ditemukan efek shock therapy yang disampaikan akan lebih efektif. Sedangkan pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal atau dijemput aparat keamanan. Akibat berita yang demikian gencar mengenai Petrus yang berhasil membereskan ratusan penjahat, para petinggi negara pun akhirnya berkomentar.ketika berita serupa hampir tiap hari muncul di seantero Jakarta dan massa mulai membicarakan masalah penembakan misterius, Benny Moerdani sebagai Panglima Kopkamtib seusai menghadap Presiden Soeharto lalu memberi pernyataan kepada pers bahwa penembakan gelap yang terjadi mungkin timbul akibat perkelahiaan antar geng bandit. “Seiauh ini belum pernah ada perintah tembak di tempat bagi peniahat yang ditangkap” komentar Benny. Dan tak ada seorang pun wartawan yang saat itu berani melaniutkan pertanyaan kepada jenderal yang dikenal sangat tegas dan garang itu. Kepala Bakin saat itu, Yoga Soegama juga memberikan pernyataan yang bernada enteng bahwa masyarakat tak perlu mempersoalkan para penjahat yang mati secara misterius. Tapi pernyataan yang dilontarkan man-tan Wapres H. Adam Malik justru bertolak belakang sehingga membuat kasus penembakan misterius tetap merupakan peristiwa serius dan harus diperhatikan oleh pemerintah RI yang selalu menjunjung tinggi hukum. “Jangan mentangmentang penjahat dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi syarat sebagai negara hukum sudah terpenuhi,” kecam Adam Malik sambil menekankan, “Setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini pada kehancuran.” Tindakan tegas para Penembak Misterius (Petrus) pada akhirnya memang menyulut pro dan kontra. Pendapat yang pro, Petrus pantas diterapkan kepada target yang memang jelas-jelas penjahat. Sebaliknya pendapat yang kontra menyatakan keberatannya jika sasaran Petrus hanya penjahat kelas teri atau mereka yang hanya memiliki tato tapi bukan penjahat beneran. Pendapat atau komentar yang cukup kontroversial adalah yang dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri Belanda, Hans van den Broek, yang secara kebetulan sedang berkunjung ke Jakarta pada awal Januari tahun 1984. Setelah bertemu dengan Menlu Mochtar Kusumaatmadja, Broek secara mengejutkan berharap bahwa pembunuhan yang telah mejnakan korban jiwa sebanyak 3.000 orang itu pada waktu mendatang diakhiri dan Indonesia juga diharapkan dapat melaksanakan konstitusi dengan tertib hukum. Menlu Mochtar sendiri menjawab bahwa peristiwa pembunuhan misterius itu terjadi akibat meningkatnya angka kejahatan yang mendekati tingkat terorisme sehingga masyarakat merasa tidak aman dan main hakim sendiri. Atas pernyataan Menlu Belanda itu, Benny yang merasa kebakaran jenggot sekali lagi harus tampil untuk meluruskan tuduhan tadi. Ia kembali menegaskan bahwa pembunuhan yang terjadi karena perkelahian antar geng. “Ada orang-orang yang mati dengan luka peluru, tetapi itu akibat melawan petugas. Yang berbuat itu bukan pemerintah. Pembunuhan itu bukan kebijaksanaan pemerintah,” tegasnya. Namun persoalan penembakan itu akhirnya tidak lagi misterius meskipun para pelakunya hingga saat ini tetap misterius dan tidak terungkap. Beberapa tahun kemudian Presiden Soeharto justru memberikan uraian tentang latar belakang permasalahannya dimana ia mengatakan Tindakan keamanan tersebut memang terpaksa dilakukan sesudah aksi kejahatan yang terjadi di kota-kota besar Indonesia semakin brutal dan makin meluas. Seperti tertulis dalam bukunya Benny Moerdani hal 512-513 Pak Harto berujar : “Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment therapy, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor-dor! Begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak. Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampui batas perikemanusiaan. Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu” Namun jika para petinggi militer maupun presiden sendiri menyatakan bahwa penembakan terhadap para preman karena melawan saat hendak ditangkap bagaimana Moerdani menjelaskan para korban Penembakan Misterius yang ditemukan dalam goni-goni dengan tangan terikat atau yang dihanyutkan di sungai? atas kordinasi siapakah para Penembak Misterius itu menjalankan perintah?
4. Kasus Kematian Peragawati Terkenal Dietje Diera
Tahun 1980an ada seorang peragawati ternama yang cantik bernama Dietje yang bernama lengkap Dietje (Dice) Budimulyono/Dice Budiarsih, ia tewas dibunuh dengan tembakan berulang kali oleh seorang yang ahli dalam menembak kemudian mayat nya dibuang disebuah kebun karet dibilangan kalibata yang sekarang menjadi komplek perumahan DPR. Setelah kasus tersebut marak di media massa, Polisi akhirnya menangkap seorang tua renta yang nama aslinya tidak diketahui dan hanya dikenal dengan panggilan Pakde dikenal juga sebagai Muhammad Siradjudin, konon ia adalah seorang dukun. Yang entah dengan alasan dan motif apa yang tidak jelas ia dianggap sebagai pembunuh Dietje. Bagi Polis Motif tidak begitu penting karena Polisi mengungkapkan bahwa "katanya" mereka "Memiliki bukti yang kuat". Pak De membantah sebagai pembunuh Ditje seperti yang tercantum dalam BAP yang dibuat polisi. Pengakuan itu, menurut Pak De dibuat karena tak tahan disiksa polisi termasuk anaknya yang menderita patah rahang. Ketika itu, Pak De mengajukan alibi bahwa Senin malam ketika pembunuhan terjadi, dia berada di rumah bersama sejumlah rekannya. Saksi-saksi yang meringankan untuk memperkuat alibi saat itu juga hadir di pengadilan. Namun, saksi dan alibi yang meringankan itu tak dihiraukan majelis hakim. Akhirnya Pakde dijatuhi hukuman penjara seumur hidup namun publik saat itu sudah mengetahui rumor bahwa Dietje menjalin hubungan asmara dengan menantu dari orang paling berkuasa di Indonesia saat itu. Dan tentu saja kasus seperti ini tidak akan pernah terungkap dengan benar. Karena pemilik informasi satu-satunya kepada media atau publik berasal dari polisi. Dan bisa jadi, publik digiring dengan sekuat tenaga, untuk ‘meyakini’ bahwa benarlah yang membunuh Dietje adalah Pakde. Dietje disebutkan dipakai sebagai "Jasa" oleh seorang eks petinggi militer yang terjun ke dunia usaha dan untuk memuluskan bisnisnya Dietje dipakai oleh sang eks petinggi militer untuk menyenangkan menantu orang paling berkuasa di Indonesia, Hasil dari jasa Dietje, sang ‘jenderal’ pengusaha mendapat satu kontrak besar pembangunan sebuah bandar udara modern. Tapi hubungan Dietje berlanjut jauh dengan sang menantu. Ketika perselingkuhan itu ‘bocor’ ke keluarga besar, keluar perintah memberi pelajaran kepada Dietje, hanya saja ‘kebablasan’ menjadi suatu pembunuhan. Dietje ditembak di bagian kepala pada suatu malam tatkala mengemudi sendiri mobilnya di jalan keluar kompleks kediamannya di daerah Kalibata. Pak ‘De’ Siradjuddin yang dikenal sebagai guru spiritualnya dikambinghitamkan, ditangkap, dipaksa mengakui sebagai pelaku, diadili dijatuhi hukuman seumur hidup dan sempat dipenjara bertahun-tahun lamanya, Hingga akhirnya Pak De mendapat grasi dari Presiden BJ Habibi dimana hukuman Pak De dirubah dari seumur hidup menjadi 20 tahun di tahun 1999.Akhirnya 27 Desember 2000 Pak De dapat meninggalkan hotel prodeo setelah pemerintah memberikan kebebasan bersyarat. Setelah menghirup udara bebas, Pak De lebih sering mengurusi ayam-ayamnya. Tubuhnya telah lama layu. Kumis tebalnya juga sudah berwarna kelabu. Kepada setiap orang kembali Pak De menyatakan: “Pak De tidak membunuh Ditje". Pak De dalam kasus pembunuhan itu merasa menjadi kambing hitam oleh polisi dan Polda Metro Jaya. "Sebenarnya saat itu polisi tahu pembunuhnya," kata Pak De. Siapakah pelakunya? Pak De menyebut-nyebut sejumlah nama yang saat itu dekat dengan kekuasaan. Entahlah, sebab di negeri ini keadilan tidak berlaku bagi rakyat kecil.
5. Kasus Pembunuhan Udin
Udin adalah seorang wartawan Harian Bernas di Yogyakarta yang tewas terbunuh oleh seseorang tidak dikenal. Udin yang bernama asli Fuad Muhammad Syafrudin pada selasa malam 13 Agustus 1996 kedatangan seorang tamu misterius yang kemudian menganiyaya dirinya dan pada tanggal 16 Agustus 1996 Udin harus mengembuskan nafas terakhirnya. Udin tercatat sebagai seorang wartawan yang kritis terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer. Kasus Udin menjadi ramai karena Kanit Reserse Polres Bantul, Serka Edy Wuryanto dilaporkan telah membuang barang bukti dengan membuang sampel darah Udin ke laut dan mengambil buku catatan Udin dengan dalih penyelidikan dan penyidikan. Kasus Udin menjadi gelap akibat hilangnya beberapa bukti penting dalam pengungkapan kasus kematian sang wartawan dan juga terdapat beberapa orang yang dikambing hitamkan atas peristiwa kematian Udin. Seorang wanita bernama Tri Sumaryani mengaku ditawari dengan imbalan sejumlah uang untuk membuat pengakuan bahwa ia dan Udin telah melakukan hubungan gelap dan suaminya lah yang telah membunuh Udin. Lalu Dwi Sumaji alias Iwik seorang supir dari Dymas Advertising Sleman diculik di perempatan Beran Sleman lalu dibawa ke Hotel Queen of the South Parangtritis dan dipaksa oleh Serka Edy Wuryanto yang memiliki nama panggilan Franky agar mengaku sebagai pembunuh Udin, sebelumnya di sebuah losmen bernama Losmen Agung yang juga berada di parangtritis Iwik dicekoki berbotol-botol minuman keras hingga mabuk dan disuguhi wanita penghibur dan diberi janji uang, pekerjaan yang layak serta jaminan hidup buat keluarganya dimana sebelumnya ia dijebak oleh Edy Wuryanto dengan dalih pembicaraan bisnis Billboard. Di pengadilan Iwik mencabut seluruh "pengakuan" dirinya dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Polisi karena ia sebagai korban rekayasa dan berada dibawah ancaman tekanan dan paksaan oleh Kanit Reserse Polres Bantul Serka Edy Wuryanto. Komnas HAM mengadakan investigasi lapangan dan menyimpulkan telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia namun tetap saja Iwik dijadikan sebagai tersangka utama oleh Polisi dan diajukan ke persidangan, walau penuh teror dari berbagai pihak akhirnya Iwik divonis bebas oleh majelis hakim dan motif perselingkuhan yang selama ini dihembuskan secara otomatis gugur selain itu majelis hakim memerintahkan agar polisi mencari, mengungkap motif, dan menangkap pelaku pembunuhan Udin yang sebenarnya. Dalam kesaksiannya di persidangan Iwik menyatakan bahwa dirinya selain menjadi korban rekayasa dan bisnis politik, ia hanya dipaksa menjalankan skenario rekayasa Franki alias Serma Pol Edy Wuryanto dengan alasan untuk melindungi kepentingan Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo. Namun hingga kini para pelaku kejahatan pembunuhan terhadap sang wartawan yang kritis tersebut tidak ada yang ditangkap atau diadili ke meja hukum.
6. Kasus Marsinah
Marsinah hanyalah seorang buruh pabrik dan aktivis buruh yang bekerja pada PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Ia ditemukan tewas terbunuh pada tanggal 8 Mei 1993 diusia 24 tahun. Otopsi dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo Surabaya menyimpulkan bahwa Marsinah tewas kerena penganiayaan berat. Marsinah adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan para buruh yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Awal dari kasus pemogokan dan unjuk rasa para buruh karyawan CPS bermula dari surat edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250. Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993. Pada tanggal 30 September 1993 dibentuk tim Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya. Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap. Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah. Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya. Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa". Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713. Hingga kini kasus Marsinah tetap menjadi misteri dan menjadi sejarah kelam ranah hukum di Indonesia.
7. Kasus Menghilangnya Edy Tansil
Edy Tansil adalah seorang pengusaha keturunan yang memiliki nama asli Tan Tjoe Hong/Tan Tju Fuan yang menjadi narapidana dan harus mendekam selama 20 tahun di penjara Cipinang atas kasus kredit macet Bank Bapindo yang merugikan negara senilai 565 juta dollar (1.5 T rupiah dengan kurs dollar saat itu). Edy Tansil dilaporkan kabur dari penjara pada tanggal 4 Mei 1996 dan 20 petugas LP Cipanang dijadikan tersangka karena dianggap membantu Edy Tansil melarikan diri dan sejak itu keberadaan dari Edy Tansil seperti raib ditelan bumi. Sebuah LSM pengawas anti-korupsi bernama Gempita melaporkan bahwa Edy Tansil tengah menjalankan bisnis sebuah perusahaan bir yang mendapat lisensi dari perusahaan bir Jerman bernama Becks Beer Company di kota Pu Tian Provinsi Fujian China. Di tahun 2007 Tempo interactive melaporkan bahwa tim pemburu koruptor (TPK) berdasarkan temuan dari PPATK menyatakan akan segera memburu Edy Tansil dimana PPATK menemukan bukti bahwa buronan tersebut telah melakukan transfer uang ke Indonesia setahun sebelumnya. Namun hingga kini keberadaan Edy Tansil tetap masih menjadi misteri. Ada beberapa koruptor yang juga melarikan diri ke luar negri dan hingga kini keberadaan mereka tidak terungkap atau belum tertangkap seperti Adelin Lis, Sjamsul Nursalim, David Nusa Wijaya, Maria Pauline, Djoko S Tjandra, Marimutu Sinivasan, Hendra Rahardja, Sukanto Tanoto dan masih banyak lainnya.